Menggali Makna Abdi Dalem
Suara Wanita – Pak Ari, begitu orang-orang menyebutnya. Sembari ditemani kopi hangat dan gorengan ubi yang menggugah selera, ia menjawab sejumlah pertanyaan yang terlontar di kesempatan itu. Memberikan ruang kepada saya untuk menggali makna di balik arti pengabdian, yang ia terapkan lewat keputusannya menjadi Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta.
“Kalau dibilang penghasilan kurang tepat mas, istilahnya diberi ‘paring dalem’ ya syukur, tidak juga ndak apa-apa, wong namanya juga pengabdian,” jawabnya ketika pertanyaan terkait penghasilan bulanan Abdi Dalem muncul. Konon, penghasilannya berkisar di angka belasan ribu rupiah.
“Saya meyakini sesuatu yang dari Keraton tu selalu cukup. Meskipun kalau di logika, itu enggak masuk akal. Tetapi saya mempercayai rejeki saya tidak akan kekurangan. Seperti misteri cukup saja, yang dalam pepatah jawa, ‘sithik durung karuan kurang, akeh durung mesti cukup.‘ Jadi intinya, cukup tidak itu sebenarnya tergantung pada diri kita sendiri,” tambahnya.
Di Balik Keputusan untuk menjadi Abdi Dalem
Tak melulu masalah penghasilan, ada banyak cerita menarik lainnya yang tergali di pagi itu, termasuk keputusannya untuk menjadi Abdi Dalem Keraton.
“Kalau saya pribadi ada proses secara spiritual mas. Jadi saya memang dari SMA suka tirah, tirakat atau nyepi di tempat-tempat yang sakral menurut orang-orang tua zaman dulu. Waktu itu saya memang lagi berpikir. ‘mau apa gitu kedepan, mosok saya seperti ini terus,’ bagaimana saya bisa menjadi manusia yang bermanfaat lah istilahnya.” ujar Ari.
“Suatu saat, saya sedang berada di salah satu Sendang di daerah Bantul. Di sana saya melakukan tirakat selama 40 hari. Tetapi, baru hari ke 17-an, saya mendapat bisikan dalam bahasa Jawa, ‘Mlebu’o njero, nek arep menep (masuklah ke dalam kalau kamu mau mengendap).'”
Karena bingung akan maksud dari bisikan tersebut, Ari kemudian melanjutkan ‘pencariannya.’ Ia berangkat ke Makam Purboyo, leluhur Mataram, di daerah Wotgaleh.
“Di sana, penglihatan batin saya melihat beliau. Beliau memakai busana seperti ini, baju jawa lurik warna cokelat dengan latar putih, lalu menunjuk dengan jempol ibu jari ke arah barat daya. Saya sadar, jika beliau menunjuk ke arah Keraton. Dari situ, saya lalu menulis lamaran (untuk menjadi Abdi Dalem).”
Baca juga: Jouhatsu: Ketika Seseorang Menghilang dan Memulai Kehidupan Baru
Kepangkatan
Ari menceritakan, Abdi dalem sendiri terbagi dua, yakni Abdi Dalem Tepas dan Abdi Dalem Caos.
Tepas berkewajiban untuk bekerja setiap hari, atau istilahnya berkantor di keraton, sementara Caos, masuk pada periode waktu tertentu saja.
Ari, terpilih untuk mengabdi sebagai Abdi Dalem Caos. Pengabdiannya pun perlahan dihargai dengan kenaikan pangkat, serta pemberian nama baru dari Keraton Yogyakarta.
“Berdasarkan pengalaman pribadi saya, secara teknis kita pertama kali akan menjadi Sowan Bekti. Nanti, setelah wisuda dan mendapat pangkat Jajar, kita akan mendapat nama dari Keraton. Sebagai contoh, nama saya Ari Supardiyanto, menjadi Ronopardiyo.”
Untuk Abdi Dalem Caos, pangkat ini akan terus naik setiap 4-5 tahun. Dari Jajar, menjadi Bekel Anom, Bekel Sepuh, dan seterusnya. Sementara Abdi Dalem Tepas, kenaikan pangkat dapat diajukan setiap 3 tahun.
Kewenangan untuk menaikkan pangkat dan mempensiunkan, dipegang oleh Parentah Hageng. Selain mendapat pangkat dan Asma Paring Dalem (pemberian nama), para Abdi Dalem juga akan memperoleh penugasan yang tertuang dalam Serat Kekancingan (SK).
Ngarso Dalem
Usai membahas mengenai kepangkatan, obrolan kemudian berlanjut ke pengalaman-pengalaman yang tak terlupakan selama dirinya menjadi Abdi Dalem. Bagi Ari, salah satu yang paling berkesan, adalah ketika ia berkesempatan untuk melihat langsung Sri Sultan Hamengkubuwono X, atau yang ia sebut sebagai Ngarso Dalem.
“Sebagai Raja, beliau sangat ramah. Bahkan, dari Raja, Putro-putro, sampai ke petinggi atau ke Tepas, saat memanggil sesama adalah dengan kata Konco, yang dalam bahasa jawa artinya teman, bukan yang lain. Jadi secara tidak langsung, kita diajarkan bagaimana cara untuk menghargai seseorang.”
Ari menegaskan, bakti yang dia lakukan murni berdasarkan panggilan hati. ia juga menyebut jika regenerasi harus terus berlaku, demi menjaga kelestarian budaya yang sudah diwariskan oleh para leluhur.
“Ibaratnya, perkembangan zaman itu boleh maju, tetapi harus diimbangi dengan adat adab dan budaya. Supaya seimbang.”