Melarikan Diri ke Purwakarta
Suara Wanita – Pada satu petang di 2016, kereta mulai melaju. Saya yang berdesak-desakan di dalamnya, hanya bisa pasrah menunggu rangkaian gerbong ini sampai di garis finish. Tepatnya di Stasiun Purwakarta.
Tak banyak rencana saat itu. Semuanya berjalan spontan, dipicu oleh rasa jenuh di ibu kota.
Ya, sebatas itu. Saya berangkat dari rumah sekitar pukul 14:00, mencari stasiun yang melayani keberangkatan ke sana, lalu memesan tanpa memikirkan bagaimana pulangnya nanti.
Benar saja, begitu berada di dalam gerbong, saya baru menyadari kalau perjalanan ini adalah yang terakhir. Artinya kereta untuk kembali ke Jakarta baru tersedia keesokan harinya.
“Ya sudahlah, terlanjur terjadi,” pikir saya. Tak ada cara lain saat itu selain menikmati setiap kengerian dari perjalanan ini.
Sekian jam berlalu, kereta akhirnya sampai. Puluhan bangkai gerbong yang sudah tak terpakai berbaris di samping rel menyambut kedatangan saya.
Pemandangan indah itu membuat saya terpaku cukup lama. Mungkin saya pernah naik satu di antaranya. Dan kini kami dipertemukan lagi, meski sekadar untuk saling menatap dan mengingat masa lalu.
Sekilas, beberapa dari mereka juga nampaknya masih sanggup difungsikan. Namun sepertinya ada pertimbangan khusus yang membuat mereka akhirnya dimakamkan di sana.
Sebuah gambaran ‘tanpa kepastian’ yang indah.
Menikmati Keindahan Purwakarta
Sekeluarnya dari stasiun, saya memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati kota. Salah satunya dengan melihat air mancur Sri Baduga yang konon terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Singapura.
Sayang, hujan tiba-tiba turun cukup lebat. Kenikmatan petualangan yang saya rasakan mau tak mau berganti menjadi perjuangan untuk mencari tempat inap.
Beberapa hotel yang saya datangi rata-rata penuh. Butuh effort yang cukup besar hingga akhirnya menemukan satu penginapan yang mau menerima.
Saya tak ingin menyebut nama. Tapi lokasinya sungguh nyaman. Bernuansa bali, lengkap dengan pernak-perniknya. Menyeberang rel pun jadi terasa seperti menyeberang laut.
Keesokannya, sebelum kembali ke Jakarta, saya memutuskan untuk bertualang lagi. Kali ini dengan mengunjungi alun-alun kota, lalu beranjak ke Waduk Jatiluhur yang tersohor itu.
Lokasinya kala saya tiba tidak terlalu ramai. Namun saya tetap nekat memutari bendungan. Menikmati percikan air yang muncul dari laju perahu. Mencoba melupakan semua masalah yang saya alami sekian pekan ini di Jakarta.
Akhirnya, petualangan selesai. Puluhan gerbong kembali berbaris untuk mengucap salam perpisahan, mengiringi kereta saya yang pulang menuju tempat perjuangan.
Sesampainya di Jakarta, saya langsung masuk kantor. Kembali bekerja, tanpa bercerita ke siapapun.
Semuanya berlalu begitu saja. Seperti pelarian dalam mimpi.