COVID-19 Bikin Pasangan Muda Ogah Hamil, Benarkah?

Suara Wanita – Gangguan sosial dan ekonomi yang diakibatkan COVID-19 terhadap kehidupan orang Amerika, meluas ke dalam masalah reproduksi. Salah satunya adalah melemahnya minat 0rang dewasa muda, untuk hamil.

Dalam studi yang diterbitkan Selasa di JAMA Network Open, tim peneliti yang dipimpin Universitas California-San Francisco menyebut bahwa penelitian ini diperlukan untuk dapat menafsirkan dengan tepat perubahan tingkat kehamilan, tingkat dan interval kelahiran, dan tingkat aborsi di negara tersebut.

“Model perawatan kontrasepsi dan aborsi yang diperluas, seperti akses apotek, telemedicine, dan pemesanan melalui pos, akan menjadi penting bagi otonomi reproduksi selama gangguan di masa depan, terhadap akses perawatan medis.”

Penulis utama studi ini adalah Corinne Rocca, seorang profesor di Departemen Obstetri, Ginekologi dan Ilmu Reproduksi di Pusat Bixby UCSF untuk Kesehatan Reproduksi Global.

Hingga saat ini, survei secara luas menemukan bahwa sebanyak setengah dari responden mengalami penurunan minat untuk hamil, atau ingin menundanya selama pandemi.

Beberapa faktor yang mendukung hal tersebut antara lain risiko kesehatan, masalah keuangan, kehilangan pendapatan, dan rasa ketidakpastian tentang masa depan.

Namun, studi ini juga menemukan proporsi yang lebih kecil dari responden, yang melaporkan peningkatan keinginan untuk hamil sebagai cara untuk memperkenalkan perubahan dan kepositifan dalam hidup mereka di tengah pandemi, serta mengkalibrasi ulang prioritas mereka.

Baca juga: Riwayat Keluarga dengan Gangguan Kejiwaan dapat Tingkatkan Risiko Depresi Pascamelahirkan

Studi kohort melibatkan 627 peserta berusia 15 hingga 34 tahun di Arizona, New Mexico dan Texas. Mereka melaporkan preferensi kehamilan mereka pada awal dan setiap tiga bulan, hingga 18 bulan antara Maret 2019 dan Maret 2021.

Mengutip UPI News, semua peserta penelitian aktif secara seksual tetapi tidak hamil atau disterilkan. Usia rata-rata mereka hanya di bawah 25 tahun; 51% diidentifikasi sebagai Latina dan hampir 30% sebagai Putih.

Para ahli epidemiologi mengatakan, hasil studi ini konsisten dengan tren kesuburan yang terlihat sebagai reaksi terhadap keadaan darurat lainnya, seperti perang atau bencana alam. Artinya, penurunan kesuburan jangka pendek biasanya akan diikuti oleh rebound.