Hearts In Atlantis Review: Drama Kekuatan Super yang Manis

Suara Wanita – Terserah orang mau bilang apa. Tapi bagi saya, Hearts In Atlantis adalah sebuah fan service yang cukup berkesan bagi para pecinta novel The Dark Tower, maupun penyuka karya-karya Stephen King.

Film ini bukan hanya mengambil salah satu karakter di novel itu sebagai tokoh utamanya, namun juga mampu menempatkan diri dalam drama menawan di ranah manusia biasa, lengkap dengan beberapa masalah utamanya. Mulai dari uang, pelecehan seksual, hingga bullying.

Hearts In Atlantis diangkat dari novel bertajuk sama, yang berisikan dua judul cerita panjang dan tiga cerita pendek. Kelima cerita yang ada di novel ini memang memiliki kaitan dengan novel The Dark Tower yang hingga saat ini telah mencapai buku ketujuh, dan sempat difilmkan di tahun 2017.

Sinopsis Hearts In Atlantis

Rilis di 2001, film Hearts In Atlantis mengambil fokus dari judul panjang pertama di novelnya, yang berjudul Low Men in Yellow Coats. Kisahnya tentang seorang anak bernama Bobby Garfield yang tinggal bersama ibunya, Liz.

Diceritakan, dalam kesehariannya, Bobby berteman dengan anak seusianya yang bernama John, dan seorang wanita cantik bernama Carol Geber. Mereka bertiga merupakan sahabat sejati, dan selalu menghabiskan waktu luang dengan bermain bersama.

Suatu hari, demi memenuhi biaya hidup, Liz menyewakan sebagian rumahnya kepada kakek misterius bernama Ted Brautigan. Dari momen inilah, Bobby kemudian berteman dengan Ted, yang diam-diam memiliki kemampuan membaca pikiran orang-orang di sekitarnya.

Ted yang kian akrab dengan Bobby, kemudian bercerita jika ia sebenarnya sedang bersembunyi dari kelompok rahasia yang sedang mengincarnya. Ted kemudian meminta bantuan Bobby untuk ikut mengawasi, apabila ada salah satu dari mereka yang mendekat ke wilayah tersebut.

Unggul dalam Kast dan Alur Cerita

Salah satu yang paling berkesan dari film ini, adalah akting menawan dari Anthony Hopkins yang berperan sebagai Ted. Beberapa bintang lainnya, termasuk Anton Yelchin sebagai Ted, dan Hope Davis sebagai Liz, juga mampu mengimbangi keberadaan sang legend, sehingga bisa menyuguhkan sebuah orkestra visual yang menyenangkan untuk kita tonton.

Di belakang layar, Scott Hicks yang menduduki kursi sutradara nampak lihai dalam memfilmkan naskah garapan William Goldman. Alur yang muncul cukup nyaman untuk kita ikuti, tanpa terasa terburu-buru meski sebenarnya bisa lebih diperluas lagi ke arah pendalaman karakter tokoh-tokohnya.

Pada akhirnya, Hearts in Atlantis mungkin jauh dari kesempurnaan, tapi bisa kita kenang sebagai salah satu yang termanis dari deretan adaptasi Stephen King di tiga dekade ini.